expr:id='"post-" + data:post.id'>

... Solusi Sufi Atas Aliran Sesat ...

Sejarah perjalanan agama-agama, terutama di Indonesia, banyak mencatat ketegangan-ketegangan, yang berakhir dengan pertumpahan darah antar sesama pemeluk agama. Atas nama agama, masing-masing kelompok merasa diri paling benar sambil memurtadkan atau mengkafirkan satu sama lainnya. Dogma agama pun menjadi semacam tabuhan genderang perang yang setiap saat dan dimana tempat absah ditabuh, bendera-bendera berani mati pun dikibarkan.

Lalu lahir sikap antoginistik yang berujung pada kebodohan. Dan kebodohan itu sendiri kemudian menciptakan prilaku anti kemanusiaan dan anti ketuhanan. Maka apa namanya jika ada sekelompok orang (yang merasa paling) beragama berperilaku antagonis terhadap aliran tertentu yang dianggapnya sesat, sambil berteriak Allahu Akbar, Allahu Akbar mereka merusak asset dan harta benda kelompok lain yang dianggap sesat, sebut saja misalnya tragedi “Parung Kelabu” yang menimpa kelompok Ahmadiyah beberapa waktu lalu.

Tanpa bermaksud membela atau menyalahkan salah satu pihak, seharusnya setiap perbedaan pandangan dapat dijadikan sebagai sebuah proses alamiah dan ilmiah, bagi terciptanya pengayaan khazanah nalar dan ruhani. Sebab jauh-jauh hari Nabi S.a.w. telah mewasiatkan kepada umat ini bahwa perbedaan dikalangan umatku adalah rahmat. Sungguh, kemuliaan umat ini tak
kan pernah menjadi rahmatanlil’aalaamiin sepanjang umat tetap berpandangan picik terhadap perbedaan-perbedaan yang ada dan yang bakal muncul dikemudian hari.



Berikut wawancara Cahaya Sufi bersama Prof. DR. Nasaruddin Umar, MA - Pakar Tasawuf seputar Solusi Sufi Atas Aliran-Aliran Agama Yang Dianggap Sesat:

Anda bisa sampaikan sikap seorang Sufi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada ditengah kehidupan ?
Kaum Sufi sangat anti kekerasan. Mereka menjawab perbedan-perbedaan yang ada dengan sikap tawakkul dan taslim. Tawakkul itu adalah keyakinan berdasarkan pengetahuan. Sedangkan taslim itu merupakan bentuk penyerahan diri kepada Allah tanpa syarat.

Seperti apa jelasnya ?
Seperti yang dilakukan Ibrahim al-Khawwas yang kemana-mana senantiasa membawa jarum, benang, gunting dan sebuah ember kecil ditangan. Ketika ditanya oleh seseorang kenapa ia selalu menenteng benda-benda tersebut, padahal al-Khawwas seorang yang amat terkenal kepasrahannya kepada Allah.

Ibrahim menjawab bahwa ember kecil ditangannya digunakan untuk mengambil air wudhu. Ia pun menjelaskan bahwa ia tak memiliki apa-apa kecuali sepotong jubah yang mudah sobek. Jarum, benang dan gunting digunakan untuk menjahit pakaiannya yang mudah robek. Jika ia tidak membawa gunting, jarum dan benang, niscaya auratnya akan terbuka dan shalatnya pasti tak bakal diterima Allah.

Seorang Sufi tidak menutup mata atas gejolak sosial ?
O, tidak ! seorang Sufi juga dituntut tanggungjawab sosialnya. Tapi, ya harus disesuaikan dengan kapasitas masing-masing Sufi.

Termasuk dalam persoalan Ahmadiyah beberapa bulan lalu?
Ahmadiyah-kah, JIL (Jaringan Islam Liberal) kah, Israel-kah, Zionis-kah atau apapun persoalannya, seorang Sufi akan mengambil sikap yang sebanding lurus antara langkah-langkah riil dengan pasrah dan doa. Seorang Sufi menghindari sikap black or white dalam menyelesaikan masalah. Seorang Sufi sadar bahwa masyarakat pluralistik butuh pendekatan yang non fiqh semata. Seorang Sufi pasti menghindari cara-cara anarkhis dalam menyelesaikan satu masalah.

Tapi kalau kita mau menengok kebelakang, keberadaan Ahmadiyah juga memiliki kekuatan hukum baik dalam UUD 1945 maupun surat izin yang dikeluarkan Departemen Kehakiman ditahun 1953. Bagaimana ini?
Ketika saya katakan sebuah pendekatan yang non fiqh, itu artinya pendekatannya tidak semata-mata hukum atau undang-undang saja. Dekati mereka, ajak diskusi mereka, doakan mereka. Dan yang perlu kita ingat, bahwa hanya Allah saja yang memiliki hak perogratif apakah seseorang beroleh hidayah atau tidak.

Bukan malah buang-buang waktu keterangan anda diatas, padahal masih banyak persoalan yang harus diselesaikan bangsa ini ?
Kita enggak boleh putus asa. Era kesementaraan harus dilewati, kita harus optimis. Pokoknya besok, lebih baik dari yang hari ini, dengan doa bersama, insyaallaah. Sebab kalo kita putus asa masalah yang sedang dan bakal kita hadapi akan bertambah kuat.

Doa bersama? Bukankah
Indonesia Berdzikir rutin dilakukan di masjid Istiqlal? Bukankah Kursus Spiritual marak dimana-mana? Bukankah Menejemen Qalbu juga sedang trend? tapi… (Prof.DR.Nazar memotong)
Ya, saya mengerti kemana alur pertanyaan anda. Oase spiritual seperti itu (Indonesia Berdzikir, Kursus Spiritual dan Menejemen Qalbu; red) harus ada ditengah kota. Jadi saya kira anda tidak perlu memandang sebelah mata. Jangan iri melihat orang berhasil mengumpulkan massa seperti itu. Jangan-jangan kita enggak sanggup melakukan seperti itu, lantas kita mencemooh mereka. Segala yang positif itu harus didukung. Kalau teman-teman kita terbukti lebih banyak menyadarkan orang ketimbang menyesatkan orang, kenapa harus dicegah? Iya kan?

Maaf, dalam dunia tashawwuf kita mengenal kategorisasi amal dan ahwal. Amal adalah prilaku lahiriah sedang ahwal adalah perilaku qalbu yang sekaligus merupakan rasa (dzauq) yang berkaitan dengan intisari (sasmita) ketuhanan. Kami mengamati pada kegiatan-kegiatan diatas, jamaah atau peserta tidak disiapkan landasan pendaratan rasa (dzauq) yang sesungguhnya, sehingga ketika keluar dari majelis atau tempat kursus semacam itu, jamaah atau peserta dihadapkan pada dua pilihan; pertama, kembali kepada karakter negatif yang mendominasi dirinya atau ia terjebak pada ghurur (tipuan makhluk halus yang seolah-olah merupakan sasmita Tuhan). Bagaimana ini?
Saya tidak mau melihat kekurangan orang lain. Tapi kalau saya boleh memberi masukan pada teman-teman yang anda maksud, mereka harusnya membekali jamaahnya tidak melulu pada aspek intelektualnya semata atau ruhaninya saja, tapi kedua-duanya harus dibekali agar dapat mempersempit ruang nafsu dan ghurur (tipudaya) bermain didalam setiap diri. Sehingga yang didapat jamaah bukan emosional sesaat seperti menangis yang tersedu-sedu atau penyesalan yang mengharubiru, tapi sesudah itu mereka kembali menjadi buas. Na’udzubillah..! Saatnya, teman-teman memiliki referensi yang mu’tabar agar kemunculan mereka saat ini bukan sesuatu yang sporadis sifatnya.

Lantas apa lagi yang dilakukan seorang Sufi menghadapi kontroversi aliran sesat ?
Kemunculan kelompok-kelompok yang dianggap sesat lebih disebabkan karena telah mensosialisasikan sikap over maskulin, baik oleh negara maupun oleh pemeluk satu agama. Sikap yang over maskulin ini lalu memunculkan arogansi kekuasaan dan memandang perbedaan sebagai sebuah ancaman. Lalu lahirlah dalam format politik apa yang disebut “ektremis” yang dalam format religi sering diistilahkan dengan “murtad” atau “sesat”. Tugas seorang Sufi berikutnya melempar fibrasi cinta kasih dan menghembuskan arrohman-arrahim pada setiap fakultas-fakultas jiwa setiap manusia dalam setiap space kehidupan ini. Dari sini lalu lahir ikhtilaafu ummatii rahmah, perbedaan ditengah umat adalah rahmat, yang menghantarkan setiap kita dapat memahami pesan-pesan Tuhan, bekal dari sebuah peradaban umat yang tercerahkan dimasa mendatang.

Sumber : www.sufinews.com

0 komentar:



Posting Komentar

kOmeNt Lo yG mEmbanGun dOnx!!